TEORI KEADILAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SEPIHAK BERDASARKAN UNDANG UNDANG TENTANG KETENAGAKERJAAN

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1    LATAR BELAKANG

    Suatu perusahaan dapat dikatakan berhasil salah satu indikasinya adalah dengan mempertahankan ritme kinerja perusahaan agar dapat mempertahankan pekerjanya. Terkadang memang tidak semua pekerja yang bekerja pada suatu perusahaan memiliki loyalitas yang tinggi. Karena loyalitas itu sangan beragam. Keputusan pemutusan hubungan kerja mutlak dibenarkan jika hal itu dijatuhkan pada para pekerja yang dianggap telah melakukan kesalahan yang sudah melakukan kesalahan yang tidak bisa ditolerir. Namun keputusan tersebut akan bersifat mutlak tidak benar jika pemutusan hubungan kerja harus dijatuhkan pada pekerja yang tidak melakukan kesalahan. Jenis keputusan pemutusan hubungan kerja yang kedua ini sering terjadi karena dorongan faktor external terlepas kesalahan pekerja. Di Indonesia sendiri hak hak pekerja masih dianggap kalah oleh kepentingan perusahaan, terlebih jika perusahaan tersebut adalah perusahaan asing, masalah pemberhentian adalah merupakan yang paling sensitive didalam dunia ketenagakerjaan dan perlu mendapat perhatian yang serius dari semua pihak, termaksud oleh sumber daya manusia karena memerlukan modal atau dana pada waktu penarikan pekerja, pimpinan perusahaan mengeluarkan banyak dana untuk memberikan kompenasasi dan pengembangan pekerja, sehingga pekerja tersebut benar benar merasakan ditempatnya sendiri dan mengerahkan tenaganya untuk kepentingan tujuan dan sasaran perusahaan dan pekerja itu sendiri
Demikian juga pada waktu pekerja tersebut berhenti atau adanya pemutusan hubungan kerja dengan perusahaan, perusahaan mengeluarkan dana untuk pensiun atau pensangon atau tunjangan lain yang berkaitan dengan pemberhentian, sekaligus memprogramkan kembali penarikan pekerja baru yang sama halnya seperti dahulu mengeluarkan dana untuk kompensasi dan pengembangan pekerja.
    Dengan demikian pemutusan hubungan kerja bukan hanya menimbulkan kesulitan dan keresahan bagi pekerja, tetapi juga akan menimbulkan kesulitan dan keresahan bagi perusahaan, oleh karena itu masing masing pihak harus berusaha agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja, dan perusahaan dapat berjalan dengan baik.
    Pemerintah dalam hal ini telah mengeluarkan peraturan peraturan yang berkaitan pemutusan hubungan kerja dimana pengaturan pelaksananya selalu disempurnakan secara terus menerus. Maksud peraturan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja selain untuk melindungi pekerja dari kehilangan pekerjaan juga member perhatian kepada pengusaha atas kesulitannya menghadapi perkembangan ekonomi yang tidak menentu
    Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam undang undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Ketentuan pemutusan hubungan kerja ini berlaku bagi :

  1. Badan usaha yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum milik perseorangan, milik persekutuan, milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik Negara
  2. Usaha usaha sosial dan usaha usaha yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan mendapat upah atau imbalan dalam bentuk lain

1.2    RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang ada dan untuk mengetahui gambaran yang lebih jelas maka penulis mencoba mendintifikasi masalah masalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana proses pemutusan hubungan kerja berdasarkan Undang Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
  2. Apakah keputusan hakim dalam keputusan mahkamah agung sudah sesuai dengan peraturan undang undang yang berlaku

1.3    TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan ini adalah untuk menjawab pokok permasalahan yang telah di uraikan sebelumnya :

  1. Untuk mengetahui proses pemutusan hubungan kerja berdasarkan Undang Undang Nomor 2 tahun 2004 yang berlaku di Indonesia tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial
  2. Untuk mengetahui Apakah keputusan hakim dalam keputusan mahkamah agung sudah sesuai dengan peraturan undang undang yang berlaku


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1    Teori Keadilan

John Rawls (1921-2002) adalah seorang pemikir yang memiliki pengaruh sangat besar di bidang filsafat politik dan filsafat moral. Melalui gagasan-gagasan yang dituangkan di dalam A Theory of Justice (1971)

A Theory of Justice adalah sebuah karya filsafat politik dan filsafat moral yang kuat, mendalam, subtil, luas, sistematik. Merumuskan prinsip-prinsip yang mengatur distribusi hak dan kewajiban di antara segenap anggota suatu masyarakat. Penekanan terhadap masalah hak dan kewajiban, yang didasarkan pada suatu konsep keadilan bagi suatu kerja sama sosial, menunjukan bahwa teori keadilan Rawls memusatkan perhatian pada bagaimana mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang di dalam masyarakat sehingga setiap orang berpeluang memperoleh manfaat darinya dan secara nyata, serta menanggung beban yang sama. Karenanya, agar menjamin distribusi hak dan kewajiban yang berimbang tersebut, Rawls juga menekankan pentingnya kesepakatan yang fair di antara semua anggota masyarakat. Hanya kesepakatan fair yang mampu mendorong kerja sama sosial (Rawls: 1971, h. 4-5).

Dalam kondisi awal (posisi asali) sebagaimana dijelaskan di atas, Rawls percaya bahwa semua pihak akan bersikap rasional; dan sebagai person yang rasional, semua pihak akan lebih suka memilih prinsip keadilan yang ditawarkannya daripada prinsip manfaat (utilitarianisme).
Semua nilai-nilai sosial—kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan basis harga diri—harus didistribusikan secara sama. Suatu distribusi yang tidak sama atas nilai-nilai sosial tersebut hanya diperbolehkan apabila hal itu memang menguntungkan orang-orang yang paling tidak beruntung (Rawls: 1971, h. 62).

Bertolak dari prinsip umum di atas, Rawls merumuskan kedua prinsip keadilan sebagai berikut: 1. Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang; 2. Ketidaksamaan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga (a) diharapkan memberi keuntungan bagi bagi orang-orang yang paling tidak beruntung, dan (b) semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang (Rawls: 1971, h. 60).

Dengan demikian, untuk terjaminnya efektivitas dari kedua prinsip keadilan itu, Rawls menegaskan bahwa keduanya harus diatur dalam suatu tatanan yang disebutnya serial order atau lexical order (Rawls: 1971, h. 63-64). Dengan pengaturan seperti ini, Rawls menegaskan bahwa hak-hak serta kebebasan-kebebasan dasar tidak bisa ditukar dengan keuntungan-keuntungan sosial dan ekonomi. Hal ini berarti bahwa prinsip keadilan kedua hanya bisa mendapat tempat dan diterapkan apabila prinsip keadilan pertama telah terpenuhi. Dengan kata lain, penerapan dan pelaksanaan prinsip keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan dengan prinsip keadilan yang pertama. Oleh karena itu, hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar dalam konsep keadilan khusus ini memiliki prioritas utama atas keuntungan-keuntungan sosial dan ekonomi (Rawls: 1971, h. 250).

Menurut Rawls, pembatasan terhadap hak dan kebebasan hanya diperbolehkan sejauh hal itu dilakukan demi melindungi dan mengamankan pelaksanaan kebebasan itu sendiri. Itu berarti, perlu diterima suatu pengaturan secara kelembagaan atas praktek-praktek kebebasan agar pelaksanaan kebebasan tidak membahayakan kebebasan yang memang menjadi hak setiap orang (Ujan: 2001, h. 74).

Prinsip keadilan yang kedua menuntut bahwa ketidaksamaan dalam pencapaian nilai-nilai sosial dan ekonomi diperbolehkan apabila tetap membuka peluang bagi pihak lain untuk mendapatkan manfaat dalam hal yang sama. Oleh karena itu, ketidaksamaan dalam perolehan nilai sosial dan ekononomi tidak harus selalu dimengerti sebagai ketidakadilan. Inti dari prinsip keadilan yang kedua justru terletak pada sisi ini.

Bagi Rawls, prinsip “perbedaan” dimaksudkan untuk menjamin berlangsungnya suatu masyarakat yang ideal di mana keterbukaan peluang yang sama (dijamin melalui prinsip kesempatan yang adil) tidak akan menguntungkan sekelompok orang dan pada saat yang sama merugikan kelompok orang lainnya. Oleh karena itu, adanya prinsip “perbedaan” merupakan pengakuan dan sekaligus jaminan atas hak dari kelompok yang lebih beruntung (the better off) untuk menikmati prospek hidup yang lebih baik pula. Akan tetapi, dalam kombinasi dengan prinsip kesempatan yang sama dan adil, prinsip itu juga menegaskan bahwa “kelebihan” berupa prospek yang lebih baik itu hanya dapat dibenarkan apabila membawa dampak berupa peningkatan prospek hidup bagi mereka yang kurang beruntung atau paling tidak beruntung (Rawls: 1971, h. 75)


2.2    Pengertian Management Sumber Daya Manusia

Sebelum memberikan pengertian tentang Manajemen Sumber Daya Manusia alangkah baiknya apabila diketahui terlebih  dahulu  pengertian Manajemen dan  Sumber Daya Manusia itu  sendiri. Dalam pendapat beberapa ahli, Manajemen diartikan sebagai ilmu  dan  seni yang  mengatur  proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu.

Sumber daya adalah segala sesuatu yang merupakan assets perusahaan untuk mencapai tujuannya. Sumber daya yang  dimiliki perusahaan  dapat dikategorikan atas empat tipa sumber daya, seperti Finansial, Fisik, Manuisa dan Kemampuan Teknologi. Hal ini penting untuk diketahui, karena akan bias membedakan dengan pengertian yang sama dengan pengertian manajemen sumber daya manusia, yaitu  administrasi kepegawaian  atau juga manajemen kepegawaian.


Berikut ini adalah pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) menurut para ahli:

1. Menurut Melayu SP. Hasibuan.

MSDM  adalah  ilmu  dan  seni mengatur  hubungan  dan  peranan  tenaga kerja agar efektif dan  efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat.

2. Menurut Henry Simamora

MSDM  adalah  sebagai pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian  balasan  jasa  dan pengelolaan terhadap individu anggota organisasi atau kelompok bekerja.

MSDM  juga menyangkut  desain  dan  implementasi system  perencanaan, penyusunan  personalia, pengembangan  karyawan,  pengeloaan  karir, evaluasi kerja, kompensasi karyawan  dan  hubungan perburuhan yang mulus.

3. Menurut Achmad S. Rucky

MSDM  adalah  penerapan  secara tepat dan  efektif dalam  proses akusis, pendayagunaan, pengemebangan  dan  pemeliharaan  personil  yang  dimiliki sebuah  organisasi  secara efektif untuk mencapai tingkat pendayagunaan  sumber daya manusia yang  optimal oleh  organisasi  tersebut dalam mencapai tujuan-tujuannya.

4. Menurut Mutiara S. Panggabean

MSDM  adalah  proses yang  terdiri  dari  perencanaan, pengorganisasian, pimpinan  dan  pengendalian kegiatan-kegiatan yang  berkaitan dengan  analisis pekerjaan, evaluasi pekerjaan, pengadaan, pengembngan, kompensasi, promosi dan pemutusan hubungan kerja guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Dari definisi di atas, menurut Mutiara S. Panggabaean bahwa, kegiatan di bidang sumber daya manusia dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari sisi pekerjaan dan dari sisi pekerja. Dari  sisi  pekerjaan  terdiri dari  analisis dan  evaluasi  pekerjaan. Sedangkan dari sisi pekerja meliputi
kegiatan-kegiatan pengadaan  tenaga kerja, penilaian  prestasi kerja, pelatihan  dan  pengembangan, promosi, kompensasi dan pemutusan hubungan kerja.

Dengan  definisi  di atas yang  dikemukakan oleh  para ahli  tersebut menunjukan  demikian  pentingnya manajemen sumber daya manusia di dalam mencapai tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat.


2.2.    Fungsi-fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia

Fungsi manajemen sumber daya manusia sama halnya dengan  fungsi yang  ada dalam  manajemen sendiri, seperti apa yang  dikemukakan  G. Terry dalam  bukunya Principle  of Management yang menyatakan bahwa, fungsi manajemen meliputi Planning, Organizing, Actuating dan Controlling (POAC). Henry Fayol menyebutkan  bahwa, fungsi manajemen meliputi Planning, Organizing, Commanding, Coordinating dan Controllung (POCCC). Luther Gulick mengemukakan  fungsi manajemen meliputi Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting dan Budgeting (POSDCoRB).


2.3    Pengertian Pemutusan Hubungan Kerja

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) memiliki berbagai pengertian, diantaranya: Menurut Mutiara S. Panggabean, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan pengakhiran hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha yang dapat disebabkan oleh berbagai macam alasan, sehingga berakhir pula hak dan kewajiban di antara mereka.

            Kemudian menurut Malayu S.P. Hasibuan Pemberhentian adalah fungsi operatif terakhir manajemen sumberdaya manusia. Dan istilah ini mempunyai sinonim dengan separation, pemisahan atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

            Sedangkan menurut Sondang P. Siagian pemutusan hubungan kerja adalah ketika ikatan formal antara organisasi selaku pemakai tenaga kerja dan karyawannya terputus.

            Menurut Suwatno Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

Maka dengan ini dapat disimpulkan bahwa Pemutusan Hubungan kerja (PHK) yang juga dapat disebut dengan Pemberhentian, Separation atau Pemisahan memiliki pengertian sebagai sebuah pengakhiran hubungan kerja dengan alasan tertentu yang mengakibatkan berakhir hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan.

A .    Fungsi, Tujuan dan Arti Penting Pemutusan Hubungan Kerja

  Fungsi Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan adalah sebagai berikut:

1.      Mengurangi biaya tenaga kerja
2.      Menggantikan kinerja yang buruk. Bagian integral dari manajemen adalah mengidentifikasi
         kinerja yang buruk dan membantu meningkatkan kinerjanya.
3.      Meningkatkan inovasi. PHK meningkatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan,
a.      Pemberian penghargaan melalui promosi atas kinerja individual yang tinggi.
b.      Menciptakan kesempatan untuk level posisi yang baru masuk
c.      Tenaga kerja dipromosikan untuk mengisi lowongan kerja sebgai sumber daya yang
dapat memberikan inovasi/menawarkan pandangan baru.
Kesempatan untuk perbedaan yang lebih besar. Meningkatkan kesempatan untuk mempekerjakan karyawan dari latar belakang yang berbeda-beda dan mendistribusikan ulang komposisi budaya dan jenis kelamin tenaga kerja.

Tujuan Pemutusan Hubungan Kerja memiliki kaitan yang erat dengan alasan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), namun tujuan lebih menitikberatkan pada jalannya perusahaan (pihak pengusaha). Maka tujuan PHK diantaranya:

1.   Perusahaan/ pengusaha bertanggung jawab terhadap jalannya perusahaan dengan baik dan efektif salah satunya dengan PHK.
2.  Pengurangan buruh dapat diakibatkan karena faktor dari luar seperti kesulitan penjualan dan mendapatkan kredit, tidak adanya pesanan, tidak adanya bahan baku produktif, menurunnya permintaan, kekurangan bahan bakar atau listrik, kebijaksanaan pemerintah dan meningkatnya persaingan.
Tujuan lain pemberhentian yakni agar dapat mencapai sasaran seperti yang diharapkan dan tidak menimbulkan masalah baru dengan memperhatikan tiga faktor penting, yaitu faktor kontradiktif, faktor kebutuhan, dan faktor sosial

B .     Prinsip-prinsip Pemutusan Hubungan Kerja

Prinsip-prinsip dalam pemutusan hubungan kerja adalah mengenai alasan dan mekanisme pemutusan hubungan kerja. Maka alasan pemutusan hubungna kerja (PHK) antara lain sebagai berikut:

-    Undang-Undang
Undang-undang dapat menyebabkan seseorang harus berhenti seperti karyawan WNA
yang sudah habis izinnya.

-    Keinginan Perusahaan
Perusahaan dapat memberhentikan karyawan secara hormat ataupun tidak apabila
karyawan melakukan kesalahan besar

-    Keinginan karyawan
Buruh dapat memutuskan hubungan kerja sewaktu-waktu karena alasan mendesak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

-    Pensiun
Ketika seseorang telah mencapai batas usia tertentu sesuai dengan peraturan perusahaan
yang disepakati.

-     Kontrak kerja berakhir

-    Kesehatan karyawan
Kesehatan karyawan dapat dijadikan alasan pemberhentian karyawan. Ini bisa berdasarkan keinginan perusahaan atau keinginan karyawan yang juga telah diatur berdasarkan perundang-undangan  ketenagakerjaan yang berlaku.

-    Meninggal dunia

-    Perusahaan dilikuidisasi
Karyawan dilepas jika perusahaan dilikuidisasi atau ditutup karena bangkrut.

·    Jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja

Menurut Mangkuprawira Pemutusan Hubungan kerja (PHK) ada 2 Jenis, yaitu pemutusan hubungan kerja sementara dan pemutusan hubungan kerja permanen.

1. Pemutusan Hubungan Kerja Sementara, yaitu sementara tidak bekerja dan pemberhentian sementara.

·         Sementara tidak bekerja
Terkadang para karyawan butuh untuk meningglakan pekerjaan mereka sementara. Alasannya bermacam-macam dapat berupa kesehatan, keluarga, melanjutkan pendidikan rekreasi dan lain sebagainya. Keadaan ini disebut juga dengan cutipendek atau cuti panjang namun karyawan tersebut masih memiliki ikatan dengan perusahaan dan memiliki aturan masing-masing.

·         Pemberhentian sementara
Berbeda dengan sementara tidak bekerja pembertihan sementara memiliki alasan internal perusahaan, yaitu karena alasan ekonomi dan bisnis, misalnya kondisi moneter dan krisis ekonomi menyebabkan perusahaan mengalami chaos atau karena siklus bisnis. Pemberhentian sementara dapat meminimumkan di beberapa perusahaan melalui perencanaan sumber daya manusia yang hati-hati dan teliti.

2. Pemutusan Hubungan Kerja Permanen, ada tiga jenis yaitu atrisi, terminasi dan kematian.

·         Atrisi atau pemberhentian tetap seseorang dari perusahaan secara tetap karena alasan pengunduran diri, pensiun, atau meninggal. Fenomena ini diawali ileh pekerja individual, bukan oleh perusahaan. Dalam perencanaan sumber daya manusia, perusahaan lebih menekannkan pada atrisi daripada pemberhentian sementara karena proses perencanaan ini mencoba memproyeksikan kebutuhan karyawan di masa depan.

·         Terminasi adalah istilah luas yang mencakup perpisahan permanen karyawan dari perusahaan karena alasan tertentu. Biasnya istilah ini mengandung arti orang yang dipecat dari perusahaan karena faktor kedisiplinan. Ketika orang dipecat karena alasan bisnis dan ekonomi. Untuk mengurangi terminasi karena kinerja yang buruk maka pelatihan dan pengembangan karyawan merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh karena dapat mengajari karyawan bagaimana adapat bekerja dengan sukses.

·         Kematian dalam pengertian pada karyawan usia muda berarti kehilangan besar bagi perusahaan, karena terkait dengan investasi yang dikeluarkan dalam bentuk penarikan tenaga kerja, seleksi, orientasi, dan pelatihan.

Menurut Sedarmayanti Jenis Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) ada 2 jenis, yaitu:

1.    Pemberhentian Sementara biasanya terjadi pada karyawan tidak tetap yang hubungan kerjanya bersifat tidak tetap, perusahaan yang bergerak pada produk musiman, Karyawan yang dikenakan tahanan sementara oleh yang berwajibkarena disangkatelah berbuat tindak pidana kejahatan.

2.    Pemberhentian Permanen sering disebut pemberhentian, yaitu terputusnya ikatan kerja antara karyawan dengan perusahaan tempat bekerja.  Kemudian menurut Mutiara S. Panggabean Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ada 4 Jenis, diantaranya:

a.    Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atas kehendak sendiri (Voluntaryturnover) hal ini terjadi jika karyawan yang memutuskan untuk berhenti dengan alasan pribadi.
b.    Pemberhentian Karyawan karena habis masa kontrak atau karena tidak dibutuhkan lagi oleh organisasi (Lay Off).
c.    Pemberhentian karena sudah mencapai umur  pensiun (Retirement). Saat berhenti biasanya antara usia 60 sampai 65 tahun.
d.   Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan atas kehendak pengusaha. Dalam hal ini pengusaha mutuskan hubungan kerja dengan pekerja mungkin disebabkan adanya pengurangan aktivitas atau kelalian pegawai atau pelanggaran disiplin yang dilakukan pekerja.

Melalui dua sumber tersebut maka dapat disimpulkan bahwa jenis Pemberhentian hubungan kerja (PHK) adalah:

a.     Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) Sementara.
        PHK sementara dapat disebabkan karena keinginan sendiri ataupun karena
        Perusahaan dengan tujuan yang jelas.
b.     Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK) Permanen.
        PHK permanen dapat disebabkan 4 hal, yaitu
·         Keinginan sendiri
·         Kontrak yang Habis
·         Pensiun
·         Kehendak Perusahaan

E.     Proses dan Prosedur Pemberhentian Hubungan Kerja

Permberhentian Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan harus dilakukan dengan baik dan sesuai dengan regulasi pemerintah yang masih diberlakukan. Namun karena terkadang pemberhentian terkadang terjadi akibat konflik yang tak terselesaikan maka menurut Umar (2004) pemecatan secara terpaksa harus sesuai dengan prosedur sebagai berikut:
a.       Musyawarah karyawan dengan pimpinan perusahaan.
b.       Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan.
c.       Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4D.
d.       Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan dan wakil dari P4P.
e.       Pemutusan hubungan berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri.

Kemudian menurut Mutiara S. Panggabean Proses Pemberhentian hubungan kerja jika sudah tidak dapat dihindari maka cara yang diatur telah diatur dalam Undang-undang No.12 tahun 1964. Perusahaan yang ingin memutuskan hubungan kerja harus mendapatkan izin dari P4D (Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah) dan jika ingin memutuskan hubungan kerja dengan lebih dari sembilan karyawan maka harus dapat izin dari P4P (Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat) selama izin belum didapatkan maka perusahaan tidak dapat memutuskan hubungan kerja dengan karyawan dan harus menjalankan kewajibannya.

Namun sebelum pemberhentian hubungan kerja harus berusaha untuk meningkatkan efisiensi dengan:
·         Mengurangi shift kerja
·         Menghapuskan kerja lembur
·         Mengurangi jam kerja
·         Mempercepat pensiun
·         Meliburkan atau merumahkan karyawan secara bergilir untuk sementara

F.      Konsekwensi Pemutusan Hubungan Kerja

Konsekwensi dapat juga diartikan sebagai Kerugian, maka menurut balkin, Mejia dan Cardy (1995:231) terdiri atas hal-hal berikut:

1.      Biaya recruitment, meliputi:
·        Mengiklankan lowongan kerja
·        Menggunakan karyawan recruitment yang professional sehingga banyak yang melamar untuk bekerja.
·       Untuk mengisi jabatan eksekutif yang tinggi secara teknologi diperlukan perusahaan pencarai yang umumnya menggunakan 30% dari gaji tahunan karyawan.

3.    Biaya Seleksi, melliputi:

·         Biaya interview dengan pelamar pekerjaan.
·         Biaya testing/psikotes
·         Biaya untuk memeriksa ulang referensi
·         Biaya penempatan

4.    Biaya Pelatihan, meliputi:

·         Orientasi terhadap nilai dan budaya perusahaan
·         Biaya training secara langsung
·         Waktu untuk memberikan training
·         Kehilangan produktivitas pada saat training

5.    Biaya Pemutusan hubungan kerja, meliputi:

·      Pesangon untuk karyawan yang diberhentikan sementara tanpa kesalahan
·      Karyawan tetap mendapatkan tunjangan kesehatan  sampai mendapatkan pekerjaan baru.
·      Biaya asuransi bagi karyawan yang di PHK namun belum bekerja lagi
·      Wawancara pemberhentian dengan tujuan untuk mencari alasan mengapa tenaga kerja meninggalkan perusahaan.
·      Bantuan penempatan merupakan program diamana perusahaan membantu karyawan mendapatkan pekerjaan baru lebih cepat dengan memberikan training pekerjaan
·      Posisi yang kosong akan mengurangi keluaran atau kualitas jasa klien perusahaan atau pelanggan

Menurut Joko Rahardjo pemberhentian karyawan oleh perusahaan dapat menimbulkan beberapa konsekwensi memberikan pesangon untuk karyawan dengan aturan sebagai berikut:
·         Masa percobaan dan Kontrak tanpa pesangon
·         Masa kerja 1 tahun atau kurang mendapatkan 1 bulan upah bruto
·         Masa kerja 1 tahun sampai 2 tahun mendapatkan 2 bulan upah bruto
·         Masa kerja 2 tahun sampai 3 tahun mendapatkan 3 bulan upah bruto
·         Masa kerja 3 tahun dan seterusnya mendapatkan 4 bulan upah bruto

Konsekwensi pemberhentian disamping berbentuk pesangon juga harus memperhitungkan uang jasa dengan rincian sebagai berikut:
·         Masa Kerja 5 sampai 10 tahun mendapatkan uang jasa 1 bulan upah bruto
·         Masa Kerja 10 sampai 15 tahun mendapatkan uang jasa 2 bulan upah bruto
·         Masa Kerja 15 sampai 20 tahun mendapatkan uang jasa 3 bulan upah bruto
·         Masa Kerja 20 sampai 25 tahun mendapatkan uang jasa 4 bulan upah bruto
·         Masa Kerja 25 dan seterusnya mendapatkan uang jasa 5 bulan upah bruto

G.    Larangan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja

Pemerintah tidak mengharapkan perusahaan melakukan PHK tercantun dalam Pasal 153 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Thaun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang menyatakan pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan:

1.    Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus
2.    Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya Karena memenuhi kewajiban terhadap Negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
3.    Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
4.    Pekerja/buruh menikah
5.    Pekerja/burh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
6.    Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkakwinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam 1 perusahaan, kecali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB.
7.    Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat
8.    Pekerja/serikat buruh melakukan kegiatan serikat/pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB.
9.    Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai
10.  Perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan
11.  Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
12.  Kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan.
13.  Pekerja. Buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibar kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penembuhannya belum dapat dipastikan.

H.    Pemensiunan Sumber Daya Manusia/ Karyawan

Pensiun adalah pemberhentian karyawan atas keinginan perusahaan, undang-undang, ataupun keinginan karyawan sendiri. Keinginan perusahaan mempesiunkan karyawan karena produktivitas kerjanya rendah sebagai akibat usia lanjut, cacat fisik, kecelakaan dalam melaksanakan pekerjaan dan sebagainya.

Undang-Undang mempensiunkan seseorang karena karena telah mencapai batas usia dan masa kerja tertentu. Kemudian pensiun karena keinginan pegawai adalah pensiun atas permintaan sendiri dengan mengajukan surat permohonan setelah mencapau masa kerja tertentu, dan permohonannya dikabulkan oleh perusahaan.

Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 mengartikan bahwa Pemberhentian atau Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antar pekerja dan pengusaha. Sedangkan menurut Moekijat mengartikan bahwa Pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerjas seseorang karyawan dengan suatu organisasi perusahaan.
Istilah pemberhentian juga mempunyai arti yang sama dengan separation yaitu pemisahan. Pemberhentian juga bisa berarti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan dari suatu organisasi perusahaan. Pemberhentian yang dilakukan oleh perusahaan harus berdasarkan dengan Undang – undang No 12 Tahun 1964 KUHP dan seijin P4D atau P4P atau seijin keputusan pengadilan. Pemberhentian juga harus memperhatikan pasal 1603 ayat 1 KUHP yaitu mengenai “tenggang waktu dan ijin pemberhentian”. Perusahaan yang melakukan pemberhentian akan mengalami kerugian karena karyawan yang diberhentikan membawa biaya penarikan, seleksi, pelatihan dan proses produksi berhenti. Pemberhentian yang dilakuakn oleh perusahaan juga harus dengan baik – baik, mengingat saat karyawan tersebut masuk juga diterima baik – baik. Dampak pemberhentian bagi karyawan yang diberhentikan yaitu dampak secara psikologis dan dampak secara biologis.
Pemberhentian yang berdasarkan pada Undang –undang 12 tahun 1964 KUHP, harus berperikemanusiaan dan menghargai pengabdian yang diberikannya kepada perusahaan misalnya memberikan uang pension atau pesangon. Pemberhentian juga dapat diartikan sebagai pemutusan hubungan kerja seseorang karyawan dengan organisasi perusahaan. Dengan pemberhentian dilakukan berarti karyawan tersebut sudah tidak ada ikatan lagi dengan perusahaan (Drs. Malayu Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia,2001). Pemutusan hubungan kerja merupakan fungsi terakhir manajer sumberdaya manusia yang dapat didefinisikan sebagai pengakhiran hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha yang dapat disebabkan oleh berbagai macam alas an, sehingga berakhir pula hak dan kewajiban di antara mereka (Mutiara Sibarani Panggabean, Manajemen Sumber Daya Manusia, 2004).

Jenis-Jenis PHK

1.    PHK Pada Kondisi Normal (Sukarela)

Dalam kondisi normal, pemutusan hubungan kerja akan menghasilkan sesuatu keadaan yang sangat membahagiakan. Setelah menjalankan tugas dan melakukan peran sesuai dengan tuntutan perusahaan, dan pengabdian kepada perusahaan maka tiba saatnya seseorang untuk memperoleh penghargaan yang tinggi atas jerih payah dan usahanya tersebut. Akan tetapi hal ini tidak terpisah dari bagaimana pengalaman bekerja dan tingkat kepuasan kerja seseorang selama memainkan peran yang dipercayakan kepadanya. Ketika seseorang mengalami kepuasan yang tinggi pada pekerjaannya, maka masa pensiun ini harus dinilai positif, artinya ia harus ikhlas melepaskan segala atribut dan kebanggaan yang disandangnya selama melaksanakan tugas, dan bersiap untuk memasuki masa kehidupan yang tanpa peran.
Kondisi yang demikian memungkinkan pula munculnya perasaan sayang untuk melepaskan jabatan yang telah digelutinya hampir lebih separuh hidupnya. Ketika seseorang mengalami peran dan perlakuan yang tidak nyaman, tidak memuaskan selama masa pengabdiannya, maka ia akan berharap segera untuk melepaskan dan meninggalkan pekerjaan yang digelutinya dengan susah payah selama ini. Orang ini akan memasuki masa pensiun dengan perasaan yang sedikit lega, terlepas dari himpitan yang dirasakannya selama ini.
Selain itu ada juga karyawan yang mengundurkan diri. Karyawan dapat mengajukan pengunduran diri kepada perusahaan secara tertulis tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri, karyawan harus memenuhi syarat :
a.    mengajukan permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya
b.    tidak ada ikatan dinas
c.    tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri.
Undang-undang melarang perusahaan memaksa karyawannya untuk mengundurkan diri. Namun dalam prakteknya, pengunduran diri kadang diminta oleh pihak perusahaan. Kadang kala, pengunduran diri yang tidak sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik bagi karyawan maupun perusahaan. Di satu sisi, reputasi karyawan tetap terjaga. Di sisi lain perusahaan tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila perusahaan harus melakukan PHK tanpa ada persetujuan karyawan. Perusahaan dan karyawan juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.
Karyawan yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas kompensasi seperti sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan dan perawatan, dll sesuai Pasal 156 (4). Karyawan mungkin mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan terdapat silang pendapat antara karyawan dan perusahaan, terkait apakah karyawan yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan penghargaan masa kerja.

2.    PHK Pada Kondisi Tidak Normal (Tidak Sukarela)

Perkembangan suatu perusahaan ditentukan oleh lingkungan dimana perusahaan beroperasi dan memperoleh dukungan agar dirinya tetap dapat survive (Robbins, 1984). Tuntutan yang berasal dari dalam (inside stakeholder) maupun tuntutan dari luar (outside stakeholder) dapat memaksa perusahaan melakukan perubahan-perubahan, termasuk di dalam penggunaan tenaga kerja. Dampak dari perubahan komposisi sumber daya manusia ini antara lain ialah pemutusan hubungan kerja. Pada dewasa ini tuntutan lebih banyak berasal dari kondisi ekonomi dan politik global, perubahan nilai tukar uang yang pada gilirannya mempersulit pemasaran suatu produk di luar negeri, dan berimbas pada kemampuan menjual barang yang sudah jadi, sehingga mengancam proses produksi. Kondisi yang demikian akan mempersulit suatu perusahaan mempertahankan kelangsungan pekerjaan bagi karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut. Hal ini berdampak pada semakin seringnya terjadi kasus pemutusan hubungan kerja.
Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja dapat memberikan beberapa pengertian, yaitu :
a.    Termination: yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak terdapat kesepakatan antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan harus meninggalkan pekerjaannya.
b.    Dismissal: yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan Tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya : karyawan melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat psikotropika, madat, melakukan tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja milik pabrik.
c.    Redundancy, yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti : penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja.
d.    Retrenchment, yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran, sehingga perusahaan tidak mampu untuk memberikan upah kepada karyawannya.
Karyawan yang mengalami jenis pemutusan hubungan kerja ini kemungkinan besar akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru di tempat atau perusahaan lain. Dari dua pengertian tersebut di atas, nampaknya masalah pemutusan hubungan kerja, penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak.Baik penyebab yang berasal dari kualifikasi, sikap dan perilaku karyawan yang tidak memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak manajemen yang seharusnya dengan keahliannya dan kewenangan yang diserahkan kepadanya diharapkan mampu mengembangkan perusahaan, walau dalam kenyataannya menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi perusahaan, dan harus mengambil keputusan untuk efisiensi tenaga kerja.

C.    Proses Pemberhentian

Jika pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka cara yang ditempuh diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1964. pengusaha yang ingin memutuskan hubungan kerja dengan pekerjanya harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari P4D untuk pemutusan hubungan terhadap sembilan karyawan atau kurang, dan izin dari P4P untuk pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja yang jumlahnya sepuluh orang ke atas. Selama izin belum diberikan pemutusan hubungan kerja belum sah maka kedua belah pihak harus menjalankan kewajibannya.
Pemberhentian karyawan hendaknya berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang ada agar tidak menimbulkan masalah, dan dilakukan dengan cara sebaik-baiknya, sebagaimana pada saat mereka diterima sebagai karyawan. Dengan demikian, hubungan antara perusahaan dan mantan karyawan tetap terjalin dengan baik. Akan tetapi pada kenyataanya sering terjadi pemberhentian dengan pemecatan, karena konflik yang tidak dapat diatasi lagi, yang seharusnya pemecatan karyawan harus berdasar kepada peraturan dan perundang-undangan karena setiap karyawan mendapat perlindungan hukum sesuai dengan statusnya. Berikut adalah prosedur/proses pemecatan karyawan:
1.    Musyawarah karyawan dengan pimpinan perusahaan
2.    Musyawarah pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan
3.    Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan, dan P4D
4.    Musyawarah pimpinan serikat buruh, pimpinan perusahaan, dan P4P
5.    Pemutusan berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri
Bagi pemutusan hubungan kerja yang bersifat massal yang disebabkan keadaan perusahaan, maka sebelum pemutusan hubungan kerja pengusaha harus berusaha untuk meningkatkan efisiensi. Upaya peningkatan efisiensi yang biasa digunakan adalah dengan:

1.    Mengurangi shift kerja
2.    Menghapuskan kerja lembur
3.    Mengurangi jam kerja
4.    Mempercepat pension
5.    Meliburkan atau merumahkan karyawan secara bergilir untuk sementara

Dalam pemberhentian karyawan, apakah yang sifatnya kehendak perusahaan, kehendak karyawan maupun karena undang-undang harus betul-betul didasarkan kepada peraturan, jangan sampai pemberhentian karyawan tersebut menibulkan suatu konflik suatu konflik atau yang mengarah kepada kerugian kepada dua belah pihak, baik perusahaan maupun karyawan.
Adapun bebera cara yang dilakukan dalam proses pemberhentian karyawan:

Bila kehendak perusahaan dengan berbagai alasan untuk memberhentikan dari pekerjaannya perlu ditempuh terlebih dahulu:

1. Adakan musyawarah antara karyawan dengan perusahaan.
2. Bila musyawarah menemui jalan buntu maka jalan terakhir adalah melalui pengadilan atau instansi yang berwenang memutuskan perkara.
3. Bagi karyawan yang melakukan pelanggaran berat dapat langsung diserahkan kepada pihak kepolisian untuk diproses lebih lanjut tanpa meminta ijin legih dahulu kepada Dinas terkait atau berwenang.
4. Bagi karyawan yang akan pensiun, dapat diajukan sesuai dengan peraturan. Demikian pula terhadap karyawan yang akan mengundurkan diri atau atas kehendak karyawan diatur atas sesui dengan paraturan perusahaan dan peraturan perundang-undangan.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 PRINSIP PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemutusan bubungan kerja tidak boleh dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang, akan tetapi PHK hanya dapat dilakukan dengan alasan-alasan tertentu setelah diupayakan bahwa PHK tidak perlu terjadi. Dalam pasal 151 UU No. 13 Tahun 2003 dinyatakan sebagai berikut:

1)   Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

(2)   Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

(3)   Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Berdasarkan ketentuan UU ketenagakerjaan tersebut, maka dapat dipahami bahwa PHK merupakan opsi terakhir dalam penyelamatan perusahaan, Undang undang ketenagakerjaan sendiri mengatur bahwa perusahaan tidak diizinkan seenaknya saja PHK karyawannya atau pekerjanya yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran berat dan dinyatakan oleh pengadilan bahwa pekerja tersebut yang dimaksud telah melakukan kesalahan berat yang dimana keputusan pengadilan yang dimaksud telah memiliki kekuatan hukum  yang tepat, hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 158 UU no 13 tahun 2003 menyebutkan sebagai berikut :

(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :

a.    Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik   perusahaan

b.    Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan

c.    Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan
      narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja

d.   Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja

e.    Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau
       pengusaha di lingkungan kerja

f.     Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan
       dengan peraturan perundang-undangan

g.    Dengan sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik
       perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan

h.    Dengan sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di
       tempat kerja

i.     Mempublikasikan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk
       kepentingan Negara

j.     Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5
       (lima) tahun atau lebih.

Dalam pasal 158 ayat (2) juga disebutkan bahwa apabila pengusaha ingin melakukan PHK terhadap pekerjanya yang melakukan pelanggaran berat, maka pelanggaran berat tersebut harus bisa dibuktikan dengan 3 pembuktian berikut ini:

a.     pekerja/buruh tertangkap tangan,
b.     ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c.     bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Pasal 158 ini telah dianulir oleh putusan Mahkamah Konstitusi No 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004, karena Dengan adanya ketentuan tersebut, telah terjadi pergeseran penilaian bersalah tidaknya pekerja, khususnya yang menyangkut perbuatan Pidana (kesalahan berat yang dituduhkan kepada pekerja pada dasarnya adalah menyangkut perbuatan tindak pidana) adalah merupakan kewenangan pengadilan, tetapi apabila memenuhi salah satu alat bukti diatas, pengusaha dapat mengadakan pemutusan hubungan kerja tanpa melalui ijin Panitia Daerah/Pusat atau penetapan. Sehingga pengusaha dalam hal ini telah menjalankan kewenangan pengadilan

Jadi perlu ditambahkan disini, bahwa PHK oleh pengusaha terhadap pekerja karena melakukan kesalahan berat sebagaimana dimaksud pada pasal 158 tsb hanya boleh dilakukan setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dari pengadilan bahwa pekerja tersebut telah melakukan kesalahan berat. Hal ini karena pasal 158 yang mengatur tentang kesalahan berat sudah tidak digunakan lagi sebagai acuan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 dan Surat Edaran Menakertrans No. 13/Men/SJ-HK/I/2005 tanggal 07 Januari 2005.

Berdasarkan putusan MK tersebut maka apabila buruh ditahan oleh pihak yang berwajib serta buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 UU No. 13 Tahun 2003.

Pasal 53 UU No. 13 Tahun 2003 juga menetapkan bahwa seorang pengusaha/perusahaan tidak boleh melakukan PHK terhadap karyawannya/pekerjanya hanya dengan alasan sebagai berikut:

a.   Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter  selama   waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus.

b.   Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban Terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

c.   Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.

d.   Pekerja/buruh menikah.

d.   Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.

e.   Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama.

f.   Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

g.   Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwaji mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.

h.   Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.

i.   Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit Karen hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.


D.     Penyelesaian Perselisihan PHK

Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara karyawan dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK.

1.    Penyelesaian Perselisihan Phk

Penyelesaian konflik antar buruh dengan majikan berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial :

a.  Bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan perlu diwujudkan secara optimal sesuai dengan nilai-nilai Pancasila;

b.  Bahwa dalam era industrialisasi, masalah perselisihan hubungan industrial menjadi semakin meningkat dan kompleks, sehingga diperlukan institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah;

c.  Bahwa Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat

e.  Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan undang-undang yang mengatur tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Terhadap hal tersebut disebutkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial bahwa perselisihan hubungan industrial ini dimungkinkan untuk dapat diselesaikan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Berikut di bawah ini penjelasan lebih lanjut mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat dilakukan:

1.    Penyelesaian melalui perundingan bipartit, yaitu perundingan dua pihak antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan buruh atau serikat buruh. Bila dalam perundingan bipartit mencapai kata sepakat mengenai penyelesaiannya maka para pihak membuat perjanjian bersama yang kemudian didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial setempat, namun apabila dalam perundingan tidak mencapai kata sepakat, maka salah satu pihak mendaftarkan kepada pejabat Dinas Tenaga Kerja setempat yang kemudian para pihak yang berselisih akan ditawarkan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut melalui jalan mediasi, konsiliasi atau arbitrase;

2.    Penyelesaian melalui mediasi, yaitu penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral dari pihak Depnaker, yang antara lain mengenai perselisihan hak, kepentingan, PHK dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam mediasi bilamana para pihak sepakat maka akan dibuat perjanjian bersama yang kemudian akan didaftarkan di pengadilan hubungan industrial, namun bilamana tidak ditemukan kata sepakat maka mediator akan mengeluarkan anjuran secara tertulis, bila anjuran diterima maka para pihak mendaftarkan anjuran tersebut ke Pengadilan Hubungan Industrial, dan apabila para pihak atau salah satu pihak menolak anjuran maka pihak yang menolak dapat mengajukan tuntutan kepada pihak yang lain melalui pengadilan yang sama;

3.    Penyelesaian melalui konsiliasi, yaitu penyelesaian melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang konsiliator (yang dalam ketentuan undang-undang PHI adalah pegawai perantara swasta bukan dari Depnaker sebagaimana mediasi) dalam menyelesaikan perselisihan kepentingan, Pemutusan Hubungan Kerja dan perselisihan antar serikat buruh dalam satu perusahaan. Dalam hal terjadi kesepakatan maka akan dituangkan kedalam perjanjian bersama dan akan didaftarkan ke pengadilan terkait, namun bila tidak ada kata sepakat maka akan diberi anjuran yang boleh diterima ataupun ditolak, dan terhadap penolakan dari para pihak ataupun salah satu pihak maka dapat diajukan tuntutan kepada pihak lain melalui pengadilan hubungan industrial;

4.    Penyelesaian melalui arbitrase, yaitu penyelesaian perselisihan di luar pengadilan hubungan industrial atas perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh dalam suatu perusahaan yang dapat ditempuh melalui kesepakatan tertulis yang berisi bahwa para pihak sepakat untuk menyerahkan perselisihan kepada para arbiter. Keputusan arbitrase merupakan keputusan final dan mengikat para pihak yang berselisih, dan para arbiter tersebut dipilih sendiri oleh para pihak yang berselisih dari daftar yang ditetapkan oleh menteri;

5.    Penyelesaian melalui pengadilan hubungan industrial, yaitu penyelesaian perselisihan melalui pengadilan yang dibentuk di lingkungan pengadilan negeri berdasarkan hukum acara perdata. Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir terkait perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat buruh, namun tidah terhadap perselisihan hak dan pemutusan hubungan kerja karena masih diperbolehkan upaya hukum ketingkat kasasi bagi para pihak yang tidak puas atas keputusan PHI, serta peninjauan kembali ke Mahkamah Agung bilamana terdapat bukti-bukti baru yang ditemukan oleh salah satu pihak yang berselisih.


Rincian pesangon yang didapat oleh pekerja yang mengundurkan diri dan PHK dapat dilihat dari tabel sebagai berikut.


Alasan PHK
Kompensasi
Pengaturan di UU Ketenagakerjaan
Mengundurkan diri tanpa tekanan
Berhak atas UPH
Pasal 162 Ayat (1)
Tidak lulus masa percobaan
Tidak berhak kompensasi
Pasal 154
Selesainya PKWT
Tidak Berhak atas Kompensasi
Pasal 154 huruf b
Pekerja melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, atau Peraturan Perusahaan
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 161 Ayat (3)
Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 169 Ayat (1)
Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan)
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 153
PHK Massal karena perusahaan rugi atau force majeure
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 164 (1)
PHK Massal karena Perusahaan melakukan efisiensi.
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 164 (3)
Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pekerja tidak mau melanjutkan hubungan kerja
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 163 Ayat (1)
Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pengusaha tidak mau melanjutkan hubungan kerja
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 163 Ayat (2)
Perusahaan pailit
1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 165
Pekerja meninggal dunia
2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
Pasal 166
Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut
UPH dan Uang pisah
Pasal 168 Ayat (1)
Pekerja sakit berkepanjangan atau karena kecelakaan kerja (setelah 12 bulan)
2 kali UP, 2 kali UPMK, dan UPH
Pasal 172
Pekerja memasuki usia pensiun
opsional
Sesuai Pasal 167
Pekerja ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan)
1 kali UPMK dan UPH
Pasal 160 Ayat (7)
Pekerja ditahan dan diputuskan bersalah
1 kali UPMK dan UPH
Pasal 160 Ayat (7)



A.    Perhitungan Uang Pesangon [Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan]


Masa Kerja
Uang Pesangon yang Didapat
kurang dari 1 (satu) tahun
1 (satu) bulan upah
1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun
2 (dua) bulan upah
2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun
3 (tiga) bulan upah
3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun
4 (empat) bulan upah
4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun
5 (lima) bulan upah
5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun
6 (enam) bulan upah
6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun
7 (tujuh) bulan upah
7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun,
8 (delapan) bulan upah
8 (delapan) tahun atau lebih
9 (sembilan) bulan upah


B.    Perhitungan Uang Penghargaan Masa Kerja [Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan]


Masa Kerja
Uang Penghargaan Masa Kerja yang Didapat
3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun
2 (dua) bulan upah
6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun
3 (tiga) bulan upah
9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun
4 (empat) bulan upah
12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun
5 (lima) bulan upah
15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun,
6 (enam) bulan upah
18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun
7 (tujuh) bulan upah
21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun
8 (delapan) bulan upah
24 (dua puluh empat) tahun atau lebih
10 (sepuluh ) bulan upah

C.    Perhitungan Uang Penggantian Hak [Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan]

Adapun UPH terdiri dari:

a.    Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b.    Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
c.    Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus)dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d.    Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

Berangkat dari uraian yang telah dikemukakan dalam bab bab sebelumnya, maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, proses pemutusan hubungan kerja berdasarkan UU Nomor 2 tahun 2004 tentang penyelesaiaan perselisihan diwajibkan untuk terlebih dahulu melakukan penyelesaiaan dengan perundingan bipartit, jika dalam perundingan bipartit ini tercapai kesepakatan diantara kedua belah pihak maka kesepakatan tersebut dituangkan dalam suatu perjanjian bersama yang ditanda tangani oleh kedua belah pihak untuk kemudian segara di daftarkan ke pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri di wilayah para pihak mengadakan perjanjian bersama tersebut, jikia dalam perundingan bipartit ini tidak mecapai suatu kesepakatan maka para pihak diberikan kesempatan untuk menyelesaikan perselisihan dengan tahapan perundingan tripartit yakni dengan memilih melalui mediasi, konsiliasi atau abritase pada penyelesaiaan dengan perundingan tripartit ini jika mencapai suatu kesepakatan maka wajib didaftar kan di pengadilan hubungan industrial pada pengadilan negeri diwilayah sengketa.


Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.    Pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan.

2.    Ada beberapa alasan yang menyebabkan seseorang berhenti atau putus hubungan kerjanya dengan perusahaan, diantaranya disebabkan karena:
1.    Perautaran perundang-undangan
2.    Keinginan perusahaan
3.    Keinginan karyawan
4.    Pensiun
5.    Kontrak kerja berakhir
6.    Meninggal dunia
7.    Perusahaan dilikuidasi
8.   Pengaruh pemberhentian karyawan terhadap perusahaan cukup besar pengaruhnya terutama dalam masalah dana, karena perusahaan harus membayar pensiun atau pesangon dan tunjangan-tunjangan lainnya kepada karyawan yang diberhentikan.
9.    Konsekuensi Pemutusan Hubungan Kerja Biaya yang dapat dikategorikan sebagai kerugian dari PHK, menurut Balkin, Meija, dan Cardy (1995:231) terdiri atas hal-hal berikut :

1.    Biaya recruitment, meliputi:
1.    i.      Mengiklankan lowongan pekerjaan
2.    ii.      Menggunakan karyawan recruitment yang professional
3.    iii.      Untuk mengisi jabatan yang eksekutif
2.    Biaya seleksi, meliputi :
1.    i.      biaya interview dengan pelamar pekerjaan
2.    ii.      biaya testing / psikotes
3.    iii.      biaya untuk memeriksa ulang referensi
4.    iv.      biaya penempatan
3.    Biaya pelatihan, meliputi :
1.    i.      Orientasi terhadap nilai dan budaya perusahaan
2.    ii.      Biaya training secara langsung, seperti instruksi, diktat, material untuk kursus training
3.    iii.      Waktu untuk memberikan training
4.    iv.      Kehilangan produktivitas pada saat training

4.    Biaya pemutusan hubungan kerja, meliputi :

1. Pembayaran untuk PHK/pesangon untuk karyawan yang diberhentikan sementara tanpa kesalahan dari pihak karyawan itu sendiri
2. Karyawan tetap menerima tunjangan kesehatan sampai mendapatkan pekerjaan baru (tergantung kebijaksanaan perusahaan)
3. Biaya asuransi bagi karyawan yang di PHK, namun belum bekerja lagi (tergantung dari kebijakan perusahaan)
4. Wawancara pemberhentian, merupakan wawancara terakhir yang harus dilalui karyawan dalam proses PHK, tujuannya untuk mencari alasan mengapa tenaga kerja meninggalkan perusahaan (jika PHK dilakukan secara sukarela) atau menyediakan bimbingan atau bantuan untuk menemukan pekerjaan baru.
5. Bantuan penempatan merupakan program di mana perusahaan membantu karyawan mendapatkan pekerjaan baru lebih cepat dengan memberikan training (keahlian) pekerjaan
6. Posisi yang kosong akan mengurangi keluaran atau kualitas jasa klien perusahaan atau pelanggan.

5.    Perlindungan bagi tenaga kerja apabila terjadi pemutusan hubungan kerja secara sepihak, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari Pemutusan Hubungan Kerja itu sendiri. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1007 pasal 1 angka 19 Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha. Berdasarkan pengertian tersebut semakin jelas bahwa pihak tenaga kerja tidak mempunyai hak dan kewajiban terhadap pengusaha, begitupun sebaliknya. Sebenarnya Pemutusan Hubungan Kerja tidak dapat dilakukan pihak perusahaan tanpa disertai adanya alasan-alasan pembenaran mengenai pemutusan hubungan kerja

4.2. SARAN


Pemutusan hubungan kerja berdasarkan dengan adanya suatu perjanjian diantara kedua belah pihak. Perjanjian yang dibuat tersebut dibuat secara tertulis bukan secara lisan. Meskipun peraturan perundang undangan tidak memberikan larangan dengan adanya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan namun jika perjanjian dibuat secara lisan hal itu dapat menimbulkan suatu permasalahan jika terjadi suatu perselisihan

Mengenal unsur sepakat dalam syarat sahnya perjanjian. Kata sepakat juga dikembangkan sebagai suatu persesuaian paham dan kehendak antara kedua belah pihak. Persesuaian paham dan kehedak itu tidak hanya bisa terjadi dengan secara tegas dan langsung dinyatakan oleh suatu pihak ke pihak yangf lain, dalam perkembangannya persesuaian paham dan kehendak itu juga apat didasari atas pernyataan suatu pihak mengenai kehendaknya yang dinyatakan untuk kemudian pihak lain yang mendengar pernyataan kehendak tersebut menerima atau menyanggupi kehendaknya tersebut dengan melakukan apa yang dikehendaki pihak yang menyatakan kehendak tersebut


Dalam hal pemberhentian karyawan, seharusnya perusahaan bertindak sangat hati-hati dan diperlakukan pertimbangan yang sangat matang karena pengaruhnya cukup besar bagi perusahaan dan karyawan itu sendiri. Bagi perusahaan akan berpengaruh sekali terhadap masalah dana konsekuensi lainnya serta harus disesuaikan dengan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan. Sedangkan dengan adanya pemberhentian karyawan tersebut tentu sangat berpengaruh sekali terhadap karyawan itu sendiri. Dengan diberhentikan dari pekerjaannya maka berarti karyawan tersebut tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan secara maksimal untuk karyawan dan keluarganya. Atas dasar tersebut, maka manajer sumber daya manusia harus sudah dapat memperhitungkan beberapa jumlah uang yang seharusnya diterima oleh karyawan yang behenti, agar karyawan tersebut dapat memenuhi kebutuhannya sampai pada tingkat dianggap cukup


DAFTAR PUSTAKA


Hanifa, Suci. 2013. MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA.
Danang Sunyoto, Manajemen Sumber Daya Manusia, CAPS Yogyakarta, 2012, Cet. 1 h. 130.
Suwatno, Manajemen Sumber Daya Manusia dalam OPrganisasi public dan bisnis, Alfabeta, Bandung, September 2012. Cet.2, h. 287.
Danang Sunyoto, Manajemen Sumber Daya Manusia, CAPS Yogyakarta, 2012, Cet. 1 h. 131.
Joko Rahardjo, Paradigma Baru Manajemen Sumber Daya Manusia, Platinum, Januari, 2013 Cet. 1, h. 150.
Mutiara S. Panggabean, Manajemen Sumber Daya Manusia, Ghalia Indah, Bogor Selatan, Agustus, 2004, Cet. 2, h.122.
Suwatno, Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Organisasi public dan bisnis, Alfabeta, Bandung, September 2012. Cet.2, h. 292.
Malayu S.P Hasibuan, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi aksara, Jakarta, Juli 2012, Cet. 12, h. 212.
Manulang, S. H. 1998. Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan diIndonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Aliliawati Muljono, SH, CN. 2000.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1997, tentang Ketenagakerjaan. Harvarindo
Hasibuan, Melayu S.P. 2003.Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.


Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. 2001.Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


Ruchiat, 2003.Pengantar Manajemen Sumber Daya Manusia. Majalengka: STIE YPPM.
Sendjun H. Manulang, SH,Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Rhineka Cipta.




2 komentar:

  1. Mohon bantuan. Saya ingin memproses perusahaan di mana saya mengalami pemutusan kerja sepihak oleh perusahaan bulan juli yang lalu tanpa pemberitahuan/peringatan sebelumnya dan gaji 4 bulan tidak di bayar,pemutusan kerja itu di lakukan secara lisan sudah satu bulan ini saya tidak bekerja kontrak kerja asli masih ada..kemana saya memproses hal ini?

    BalasHapus
  2. Aku adalah Mrs. Nur Amalina, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka adalah banyak scammers dan pemberi pinjaman pinjaman palsu di internet. Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana Tuhan menolong saya dengan mengarahkan saya kepada pemberi pinjaman asli, setelah itu saya telah dibodohi oleh banyak pemberi pinjaman di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai Tuhan menggunakan teman saya yang kemudian menyebut saya sebagai pemberi pinjaman yang sangat andal bernama Ibu Amal meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 750 juta rupiah (Rp750 juta) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan dan hanya dengan tingkat bunga 2% saja.

    Saya sangat terkejut saat memeriksa saldo rekening bank saya dan menemukan jumlah yang saya ajukan Karena saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jika Anda memerlukan pinjaman, silakan hubungi dia melalui email: (charitywhitefinancialfirm@gmail.com) dan dengan rahmat Tuhan dia tidak akan mengecewakan Anda dalam mendapatkan pinjaman

    Anda juga bisa menghubungi saya di email saya: (nuramalinasofiyani05@gmail.com) Akan melakukan yang terbaik untuk memenuhi pembayaran pinjaman saya. Itu

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.